Sabtu, 16 Desember 2017

Perpetual peace, is there such a thing for Palestine?

"War is obsolate, you are more likely to commit suicide than be killed in conflict"- Yuval Noah Harari

     Dikutip dari salah satu buku favorit saya sepanjang masa, Homo Deus, Harari menjelaskan bahwa di tahun 2012, 620.000 orang meninggal akibat perang, walau disatu sisi, 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri. 

"Perang itu sudah usang," katanya. 

   Memang, jika hanya dilihat dari kuantitas korban yang disebabkan oleh salah satu keadaan, mungkin sampai sekarang, jumlah orang yang bunuh diri masih akan lebih banyak dibandingkan dengan orang yang meninggal akibat konflik. Namun, bukan itu yang ingin saya bahas, bukan kuantitas ataupun kemungkinan yang menjadi bahasan saya kenapa perang itu tidak pernah usang. Pada kenyataannya, perang atau konflik tetap menjadi salah satu penyebab penderitaan manusia paling kejam yang pernah ada. Orang-orang dipaksa untuk mengorbankan nyawa, dipaksa untuk meninggalkan rumah, dipaksa untuk berpisah dengan keluarga, dipaksa untuk tidak menikmati hidup dan tidak menentukan pilihan mereka secara bebas.

       Beberapa dekade terakhir, berita di media internasional maupun nasional selalu dipenuhi dengan berita mengenai konflik. Dimulai dari fenomena Arab Spring, konflik Palestina-Israel, konflik di Sudan Selatan dan lain-lain. Saya jadi teringat pertanyaan dosen saya beberapa waktu yang lalu, ketika beliau bertanya pada saya, "Menurut kamu, kondisi damai itu ada diantara perang atau kebalikannya?"

     Akhir-akhir ini, media ramai memberitakan perihal pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem oleh Trump. Bahkan, adik saya yang masih SMA saja dapat tugas mengenai isu tersebut (betapa kreatifnya tugas zaman sekarang). Yang jelas, kejadian ini tentu mendapatkan reaksi yang keras dari berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Agaknya, proposal untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka semakin jauh saja dari angan-angan. Baik itu dengan opsi two-state solution atau one-state solution. 

     Jika dilihat dari teori Galtung, kekerasan yang terjadi sudah meliputi tiga aspek; kekerasan budaya, kekerasan langsung, dan kekerasan struktural. Dua pilihan ini sangat sulit ditentukan. Israel sudah menempati terlalu banyak wilayah dan sudah terlalu banyak orang yang tinggal disana. Untuk mengusir semuanya dan mengembalikan keadaan seperti semula, tentu tidaklah mudah. Konflik akan lebih parah jika ini terus dipaksakan terjadi karena sampai saat ini PM Israel tidak menyetujui adanya solusi dua negara. Namun, jika menggunakan solusi satu negara, ini tidak akan menghasilkan negara Palestina yang merdeka, karena pada akhirnya mereka akan menjadi satu negara dengan Israel. Diskriminasi dalam negeri pun tidak akan terhindarkan. 

     Indonesia terus mendukung Palestina sebagai negara merdeka semenjak Presiden Soekarno dan sampai saat ini terus dilakukan oleh Presiden Jokowi. Sebagai negara middle power, Indonesia dapat membantu mengembalikan fokus dunia untuk lebih peduli terhadap konflik Palestina. Seperti kata Pak Dino Patti Djalal, peran Indonesia dalam konflik ini adalah mendorong negara-negara lain untuk mengakui Palestina sebagai negara. Rekonsiliasi harus terus dijalankan dengan melibatkan negara-negara ring satu dan negara yang memiliki hubungan atau posisi dalam konflik itu. Indonesia, sebagai negara muslim terbesar dengan kebudayaan yang beragam, juga dapat turut membantu untuk mendukung persatuan pemerintahan Palestina dan negara-negara Arab. 

       Perdamaian di Palestina, baru akan terjadi jika kekerasan langsung dihentikan, kekerasan secara budaya dihilangkan, dan kekerasan struktural ditiadakan. Upaya-upaya seperti penyelesaian pembagian wilayah, pengembalian penduduk Palestina, dan penghentian kekerasan yang dilakukan Israel harus terus dilakukan. Peacekeeping, peacemaking, peacebuilding harus senantiasa dilakukan demi mencapai kondisi damai yang positif. Tentu saja ini tidak memakan waktu yang sebentar, mungkin bisa dalam beberapa dekade kedepan atau mungkin satu abad. Sikap Trump yang spontaneous membuat keadaan semakin rumit. Bukan tidak mungkin untuk membatalkan pemindahan tersebut, walaupun kemungkinannya sangat kecil. Namun, tekanan dunia internasional untuk menuntut Israel menghentikan ekspansinya di Palestina sangat dibutuhkan dalam penyelesaian konflik. Apalagi dengan adanya masalah yang terjadi di gugusan aliansi Amerika, saya jadi memiliki harapan bahwa konflik ini akan berakhir, sebagaimana konflik-konflik lainnya di dunia.

"We end direct violence by changing conflict behaviour, structural violence by removing structural contradictions and injustices, and cultural violence by changing attitudes." 
Galtung 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar